SEKILAS TENTANG ABU NAWAS





ABU NAWAS ( sering pula disebut Abu Nuwas ) adalah legenda, bernama asli Abu Hani Muhammad b in Hakam. Sastrawan dan penyair humoris ini diyakini hidup masa pemerintahan Khilafah Abbasiyah (786-890 M), era pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid Al-Abassi, dan meninggal di Bagdhad tahun 810 M. Ia dilahirkan di kota Al-Ahwaz, Persia, dan dibesarkan di Kota Basrah, Irak.



Nama Abu Nawas berarti “Bapak Si Rambut Ikat”, merujuk pada dua ikatan rambut panjangnya yang sampai sebahu. Semasa kecil, Abu Nawas “dijual” oleh ibunya kepada seorang penjaga toko dari Yaman, Sa'ad al-Yashira. Semasa remaja, ia bekerja di sebuah toko di Basrah, Irak. Saat itulah, ketampanan dan kecerdasannya menarik perhatian seorang penyair berambut pirang, Waliban Ibnu Al-Hubab. Abu Nawas muda pun dibeli dan dimerdekakannya. Al-Hubab mengajari Abu Nawas ilmu ketuhanan (teologi), bahasa Arab, dan puisi. Abu Nawas lalu belajar juga kepada Khalaf Al-Ahmar. Selanjutnya...
Popularitas Abu Nawas menanjak karena kejenakaan syair-syair yang diciptakannya, sebuah gaya puisi yang bertentangan dengan tradisi syair di gurun pasir saat itu, ditambah dengan perilakunya yang suka mabuk (minum khamr) dan sejumlah syairnya yang mengeritik Al-Quran yang mengharamkan khamr.
Demikianlah, sebelum mendapatkan hidayah dan bertobat, Abu Nawas dikenal sebagai penyair kontroversial. Bahkan buku-buku sejarah menyebut Abu Nawas sebagai sastrawan cabul dan kotor. Dalam keadaan mabuk karena meminum khamr, sambil 'mengigau' atau berbicara tak karuan, ia sering menggubah puisi yang membangga-banggakan minuman keras (puisi khumrayat). Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.
Karena karya-karya dan perilakunya yang tidak bermoral, sebagian ulama saat itu berpendapat, Abu Nawas adalah fasik (pelaku maksiat) bahkan kafir. Simak saja sebuah bait syairnya:
“Aku menyukai apa-apa yang Al-Quran larang. Dan aku menjauhkan diri dari apa-apa yang dibolehkannya”
Tidak hanya itu, Abu Nawas juga disebut-sebut sebagai gay, homoseksual, hal yang terasa asing di telinga kita. Tapi sebuah bait syarinya mengatakan demikian, misalnya: “Demi seorang pria muda, aku rela tinggalkan wanita”.
Namun demikian, Abu Nawas pernah kawin dengan salahsatu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu diceraikannya karena ia tidak mencintainya. Abu Nawas juga diceritakan pernah mencintai seorang perempuan, bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai.

TIDAK MAU JADI LALAT
Kehidupan Abu Nawas berubah total menjadi Islami, menurut suatu riwayat, setelah suatu malam, pada bulan Ramadhan (diyakini sebagai Malam Qodar), dalam keadaan “teler” ia didatangi seseorang tak dikenal. Orang itu berkata: “Ya Abu Hani! Idza lam takun milhan tuslih, fala takun zubabatan tufsid”. Artinya, "Hai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikan merusak hidangan itu".
Kata-kata itu sangat berkesan pada diri Abu Nawas. Ia menyadari kesalahannya selama ini, merasa dirinya bukan garam, tapi lalat. Ia pun bertobat dan meninggalkan perilaku tidak Islaminya. Ia menjadi seorang ahli ibadah, rendah hati, rajin i'tikaf di masjid, dan jarang berbicara.
Meski demikian, ia tetap menggubah syair. Namun, syair-syairnya berganti warna, menjadi syair-syair dzikir dan senandung doa. Salah satu karyanya yang paling terkenal hingga kini, dijadikan senandung di pesantren-pesantren dan nasyid, adalah syair Al-I'tiraf.
Menurut sebuah riwayat, suatu ketika, beberapa kawan Abu Nawas satu "geng" dulu, mendatanginya saat sedang i'tikaf di sebuah masjid.
"Apa yang keluar dari bibirmu sekarang?" ejek kawan-kawannya.
"Ayat-ayat Al-Quran," jawab Abu Nawas, kalem.
"Yang kau pikirkan di kepalamu?"
"Kemahaagungan Allah yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang."
"Kau habiskan malam-malammu dengan apa?"
"Dengan mendekatkan diriku yang hina dina ini kepada Dzat Yang Mahamulia, yaitu Allah SWT."
"Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana?"
"Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas," kata Abu Nawas. Wallahu a'-lam. (dari berbagai sumber).

No comments

Post a Comment

Home